Tampilkan postingan dengan label life. Tampilkan semua postingan

2 Hal Ini Harus Kamu Miliki Jika Ingin Berhasil (Resume Sharing Saya di 3 Kota)

Dalam satu minggu ini, saya dapat kesempatan untuk sharing, memberikan motivasi sukses di depan para siswa SMA di 3 kota: SMA N 1 Tuban, SMA 1 Pekalongan, dan Perkumpulan OSIS SMA-SMA di Bekasi.

Sharing dan motivasi ini adalah salah satu bagian dari event yang diadakan oleh kantor-kantor cabang Prime Generation (Integrative Bimbel) ke sekolah-sekolah di kota mereka.

Pada intinya, saya diminta untuk berbagi tips & trick bagaimana menjadi pelajar yang berprestasi dan juga berkarakter. Alhamdulillah track record pendidikan saya dari SD hingga S1 bisa dibilang cemerlang. Minimal itu penilaian dari saya sendiri, hehe, tapi faktanya memang demikian sih, wkwk.

Salah satu yang saya highlight adalah bagaimana kehidupan plus perjuangan belajar di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Jika selama SD dan SMP, ranking akademis di kelas begitu didewa-dewakan dan manis untuk diperjuangkan, maka di SMA TN ini sedikit berbeda. Akademis hanya salah satu dari 3 parameter prestasi siswa, dua lainnya adalah kepribadian dan kesamaptaan jasmani.

Selain otaknya pintar, kepribadiannya haruslah baik, dan badannya harus sehat & kuat. 

Nah, poin inilah yang saya coba share setiap kali ada kesempatan berbicara di depan para siswa SMA. Terutama bagi mereka yang berada di kelas 2 dan 3, yang sudah mulai ambil ancang-ancang masuk ke Perguruan Tinggi.

Ada 2 hal yang sebetulnya menjadi kunci keberhasilan masuk ke Perguruan Tinggi yang kita inginkan. Keduanya perlu diupayakan. Yang pertama adalah kepandaian, dan yang kedua adalah keberuntungan.

Tidak hanya pandai, kita juga harus beruntung. Mengapa?

Karena sepintar apapun kita, sematang apapun persiapan kita untuk menghadapi ujian seleksi PTN, kalau pada saat ujian tiba-tiba kita jatuh sakit, kan repot. Rumus yang udah ngelotok di kepala, konsep-konsep yang udah kita kuasai, akhirnya buyar begitu saja. 

Sedangkan orang beruntung, walaupun jarang belajar, persiapan seadanya, bisa saja waktu ujian dia hoki banget, soal-soal yang keluar adalah yang persis dia sudah pelajari, atau ‘tembakan’ di pilihan gandanya 100% tepat, padahal cuma asal ‘nembak’. Akhirnya dialah yang nilainya lebih tinggi daripada orang yang pintar.

Pilih mana? Pandai atau beruntung? – Pertanyaan ini saya lemparkan ke para siswa SMA tersebut. Dan sebagian besar menjawab: mereka ingin jadi yang beruntung. Padahal prosentase orang yang benar-benar beruntung itu juga mungkin hanya 0.001%.

Jadi, sekali lagi, kita tetap butuh pandai, di samping juga butuh keberuntungan.

Bagaimana cara menjadi orang pandai? 

Simpel, belajar keras dan belajar cerdas. Kenali kekuatan dan kelemahan diri – misalnya, kuat di matematika, lemah di IPA, dsb. Setelah itu, kelemahan dan kekuatan itu dimanage, mata pelajaran yang kuat dan kita suka bisa dimantapkan, sedangkan mata pelajaran yang kita lemah sebaiknya segera dilakukan remedial.

Lalu, bagaimana menjadi orang yang beruntung? 

Sederhana, jadilah orang baik. That’s it. Baik-baik dengan orang tua, baik-baik dengan guru, dengan saudara, dengan teman, dengan siapapun. Agar kita bisa mengumpulkan doa dari mereka semua. InsyaAllah doa-doa itu yang akan membantu kita mendapatkan keberuntungan, dalam bentuk apapun, dalam kondisi apapun. Joss kan?

Saya pun merasa gak pinter-pinter amat, apa yang sudah saya capai saat ini (walaupun perjalanan masih panjang dan masih terus berproses) saya akui bukan karena kemampuan saya semata, melainkan juga karena doa orang-orang tersayang, khususnya doa orang tua. Ayah saya beberapa kali mengingatkan agar saya jangan terlalu bangga diri, karena di balik segala prestasi dan pencapaian, ada doa ibu yang setiap hari terlantun dan tertuju pada anaknya.

Nilai-nilai inilah yang perlu selalu kita pegang agar bisa tetap rendah hati, bahkan saat sudah sukses besar sekalipun. Seperti seorang cendikiawan yang tetap low profile dan rela membagikan ilmunya, seperti orang kaya yang tetap sederhana bahkan terus menyedekahkan hartanya, seperti artis yang tetap bisa jadi good role-model dan selalu ingat bahwa ia besar karena fans-nya, dan contoh-contoh lainnya.

Dunia ini pasti bakal adem jika dipenuhi orang-orang seperti itu. Will you? 

Besok Itu Dimulai Dari Malam Ini


Saya ga jago-jago amat ngomongin produktivitas. 

Tapi saya suka praktiknya. Misalnya, suka bikin to-do list yang isinya beberapa aktivitas penting hari ini beserta kapan aktivitas itu harus dilakukan dan diselesaikan.  

Selain itu, saya juga sering bikin strategi bagaimana cara melakukan pekerjaan A agar lebih cepat selesai, sehingga bisa langsung berlanjut ke pekerjaan B. Dengan cara didelegasikan misalnya. Atau pakai bantuan tools yang bisa meringankan & mempercepat pekerjaan.

Untuk urusan produktivitas, tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat kotak to-do list ter-checklist satu demi satu. Dan kebahagiaan tertinggi adalah pada saat malam hari, ketika melihat to-do list untuk seharian tadi berhasil saya selesaikan semua. 

Siapa yang hidupnya seperti ini juga? Hehe. Toss!

Nah, kebiasaan merencanakan aktivitas sehari-hari ini sudah saya mulai sejak duduk di bangku SMA, walau tidak setiap hari. Tapi begitu kuliah, habit ini makin sering saya lakukan. Hingga sekarang. 

I'm a daily planner.

Terlepas berhasil atau tidak eksekusinya, ter-checklist atau tidak to-do list nya, paling tidak, semua sudah direncanakan di awal. 

Ngomong-ngomong, saya jarang membuat rencana harian atau to-do list di pagi hari, atau saat mengawali hari. Yap, saya lebih suka melakukannya di malam sebelumnya. Jadi, malam-malam sebelum tidur, saya bikin dulu daftar kegiatan apa saja yang akan  dilakukan esok hari. Setelah selesai, barulah tidur. Jadi paginya tinggal action aja.


Saya rasa, cara tersebut sangat efektif. Mengapa?

Karena to-do list atau apapun yang kita pikirkan dan tuliskan menjelang tidur, perlahan akan masuk ke pikiran bawah sadar ketika kita sedang pulas-pulasnya tidur. Lalu pada saat bangun, pikiran akan jauh lebih siap untuk memulai aktivitas yang sudah direncanakan di malam sebelumnya.

Mantap ya. Coba deh mulai malam ini. Buat to-do list sebelum tidur.

Apalagi kalau kita bisa tidur lebih awal dan bangun juga lebih awal. Bakal makin asyik itu efeknya. By the way, sama-sama tidur 5 jam, tapi yang satu tidur jam 12 malem - 5 pagi, sedangkan yang lain tidur jam 10 malem - 3 pagi, sensasinya bakal beda tuh. 

Menurut pengalaman pribadi selama ini, bangun sekitar jam 3 pagi setelah tidur minimal 5 jam, bisa bikin badan & pikiran jauh lebih segar, lebih enteng rasanya. Apalagi jam-jam segitu sangat menenangkan: untuk ibadah, doa, belajar, menulis, ngerjain tugas, dsb. Makanya, ada yang menyebut saat-saat itu sebagai 'golden time' atau 'golden moment'.

Akan tetapi, akan sangat sulit untuk bangun awal kalau mulai tidurnya saja sudah telat. Mulai tidur jam 12 malem atau jam 1 dini hari, tapi ngarep bangun fresh jam 3. Yaa, rasanya sih berat. Yang ada malah pening gak karuan.

Ternyata, kapan kita mulai tidur itu penting sekali.

Dua hal di atas: (1) bikin to-do list sebelum tidur (2) mulai tidur awal dan bangun lebih awal, adalah resep sederhana penentu produktivitas harian.

Bagi saya, awal hari tidak dihitung pada saat kita bangun tidur, tetapi saat kita mulai tidur di malam sebelumnya.

Besok itu dimulai dari malam ini.

Memperbaiki & Memulai Hidup Yang Baru, Hidup Yang Bebas Dari 'Sapi'


Once upon a time, I found a striking book: "Once Upon a Cow".

Jadi, suatu hari saya lagi cari-cari buku di rak perpustakaan rumah (ya, di rumah memang ada mini-library yang isinya buku-buku punya bapak, ibu, adek, dan saya. Setidaknya ada 1000 buku di dalam sana, lumayan lah ya).

Tiba-tiba, mata saya tertuju pada sebuah buku berjudul nyentrik: Once Upon a Cow. Itu buku siapa, saya juga ga tau, mungkin bapak atau adek yang beli. Yaudah, saya buka-buka aja bukunya.

Dan ternyata isinya bagus.

Ditulis oleh Dr Camilo Cruz, buku motivasi & 'self-development' ini, dengan bahasa yang friendly dan penjelasan yang mudah, dapat menjelaskan dengan baik mengapa ada kata 'Cow' di judulnya.
Bukan buku peternakan ya!
Jadi, si Cow atau sapi di buku ini digunakan sebagai gambaran atau metafora dari penghalang atau rintangan yang tidak disadari ada di dalam hidup kita dan membuat kita sulit maju untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Biar lebih mudah dipahami, kita langsung masuk ke cerita saja:

Once upon a time..

ada seorang guru yang bijak, ingin mengajari seorang muridnya bagaimana mencapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Karena banyak orang yang hidupnya rata-rata atau biasa-biasa saja, tetapi memilih pasrah membiarkan diri mereka hidup seadanya. Seolah-olah tidak ada harapan atau ke-percaya-diri-an untuk menikmati hidup yang lebih baik lagi.

Sang Guru tentu tidak ingin muridnya ikut terjebak dalam kehidupan yang seperti itu.

Diajaklah muridnya pergi ke suatu desa terpencil. Desa ini dihuni oleh keluarga-keluarga yang miskin, kekurangan, dan terbelakang, pokoknya 'mesakke' deh (jawa: mesakke > indonesia: kasihan).

Guru dan murid tadi berencana untuk menginap 1 malam di desa itu. Maka mereka mencari sebuah rumah yang akan dijadikan tempat beristirahat untuk malam nanti. Alih-alih mencari rumah yang setidaknya paling bagus atau paling mending dari seluruh rumah di desa itu, mereka malah memilih sebuah rumah yang paling jelek, kecil, mau ambrol, dan ... ah, sampe ga tega ngomongnya, hehe.

Diketuklah pintunya, keluar seseorang dari dalam lalu menyapa mereka.


"Bolehkah kami berdua menginap di sini barang semalam saja?" tanya Guru. 
"Rumah ini sudah penuh dan sesak sekali, tetapi boleh saja jika kalian berdua tidak keberatan" jawab pemilik rumah.
Guru dan murid pun tetap bersedia. Maka, dipersilakan masuklah mereka. Dan betapa kagetnya ketika sang Murid mengetahui bahwa ada 8 orang yang tinggal di rumah itu: bapak, ibu, 4 orang anak, kakek, dan nenek. Berdelapan di dalam rumah berukuran 14 meter persegi.

Kebayang bagi-bagi tempatnya kayak gimana?

Tidak cuma itu, penampilan seluruh anggota keluarga itu pun seperti tidak terurus, baju rombeng, badan kurus, kotor seperti jarang mandi, pokoknya prihatin kita kalau liat mereka. Dan, kondisi dalam rumahnya pun sudah seperti mau rubuh, air bisa masuk kalau lagi hujan, sampah di mana-mana, dan tidak ada satupun barang di rumah itu yang berharga.

Tapi, setelah guru dan murid berjalan ke halaman belakang rumah itu, mereka menemukan pemandangan yang janggal. Ternyata keluarga itu memiliki seekor sapi. Yap, lumayan aneh untuk ukuran keluarga semiskin itu punya sapi.

Selidiki punya selidik, sapi itulah yang menghidupi keluarga itu sehari-sehari. Air susunya lah yang selama ini menyelamatkan mereka dari kelaparan, walaupun tetap dirasa kurang. Sapi itu menjaga mereka dari kemiskinan yang parah, karena ternyata, di tempat di mana semua serba kekurangan, memiliki sapi adalah sebuah kehormatan di desa itu. Sehingga, keluarga itu bisa sedikit terhibur meskipun hidupnya sangat menderita dan sebetulnya jauh dari kehormatan itu sendiri.

Malam berlalu, dan sebelum fajar datang, dengan hati-hati sekali sang Guru membangunkan si Murid agar tidak mengganggu tidur yang lainnya. Diam-diam mereka keluar rumah tanpa sepengetahuan keluarga tadi, dan menuju halaman belakang. Apa yang kemudian dilakukan sang Guru?

Dengan pisau besar dan tajam, ia memenggal kepala sapi itu dalam sekali tebas! Sapi itu langsung roboh tanpa suara!

Sudah pasti, muridnya langsung syok dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Speechless, tidak punya daya untuk bertanya pada sang Guru, apa alasannya sapi itu harus dibunuh. Yang ia tahu adalah, sapi itu satu-satunya harta berharga yang keluarga itu miliki, bagaimana cara mereka hidup setelah ini?

Sang Guru tetap kalem, dia mengajak muridnya pulang, meninggalkan rumah dan desa itu segera. Si Murid benar-benar tergoncang dan teraduk-aduk emosinya membayangkan betapa putus asanya keluarga itu setelah mengetahui sapi mereka satu-satunya mati. Perjalanan pulang itu menjadi perjalanan pulang ter-horor bagi Si Murid. Di dalam ketakutan dan kegelisahan, ia terus menerka-nerka, apa maksud semua itu. Ia masih tidak berani bertanya langsung pada gurunya.

Setahun berlalu.

Sang Guru mengajak muridnya kembali ke desa itu untuk mengunjungi lagi rumah yang setahun lalu mereka inapi. Muridnya yang sudah hampir lupa dengan kejadian setahun lalu itu, tiba-tiba kembali gelisah. Semakin dekat perjalanannya ke desa itu, semakin tidak karuan perasaannya. Apa yang akan ia lihat nanti setelah sampai di rumah itu? Masihkah ada penghuninya?

Sampai di sana, betapa terkejutnya murid tersebut setelah melihat rumah yang dulu ia inapi sudah tidak ada!

Bahkan sudah diganti dengan rumah lain yang lebih besar dan lebih bagus. Apakah keluarga itu tergusur? Lalu, di mana mereka sekarang? Sang Guru pun mencari tahu dengan mencoba bertanya pada pemiliki rumah yang baru itu. Ia ketuk pintunya, dan keluarlah seseorang yang ...  tidak asing bagi mereka berdua.

Ternyata dia adalah pemilik rumah yang dulu! Keluarga itu telah berhasil merenovasi rumah mereka menjadi lebih luas, lebih bagus, dan lebih layak huni. Tampilan mereka pun sudah tidak bikin prihatin lagi. Tubuh mereka terlihat sehat dan segar, penampilannya pun jauh lebih baik. Jauh berbeda dengan kondisinya setahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Inilah pengakuan salah seorang dari mereka:

Setahun yang lalu, setelah kalian berdua meninggalkan rumah ini, kami mendapat musibah, sapi kami satu-satunya mati terpenggal (keluarga itu tidak tahu bahwa pembunuhnya adalah Sang Guru). Jujur, pada saat itu kami betul-betul terpukul dan hampir putus asa, semakin hari hidup kami semakin menderita. Tetapi kami lama-lama sadar, bahwa hidup belum berakhir dan kami harus melakukan sesuatu agar kondisi bisa membaik.
Orang itu melanjutkan,

Maka, kami mulai membersihkan halaman belakang dan menanaminya dengan sayur-sayuran. Pada awalnya, dari situlah kami bertahan hidup. Tetapi lama-kelamaan, kami menyadari bahwa sayuran yang kami hasilkan lebih dari cukup, dan kami bisa menjualnya ke tetangga-tetangga. Lalu, uang yang kami dapat bisa dipakai untuk membeli benih lebih banyak dan menghasilkan panen yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, perekonomian kami mulai membaik, kami bisa membeli pakaian yang lebih pantas, dan belanja cukup makanan, hingga akhirnya mampu merenovasi rumah ini.

Jeng jeng jeng. Si Murid lega dan terkagum-kagum dengan realita yang ia dengar barusan. Ia sekarang mengerti apa yang gurunya ingin ajarkan kepadanya.

Matinya sapi bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru menjadi awal dari kehidupan baru mereka yang lebih baik. Mungkin mereka akan tetap miskin jika sapi itu masih hidup hingga sekarang. Sapi itu telah menjadi borgol yang mengekang mereka dalam kemiskinan dan hidup yang tanggung. Sapi yang disebut lambang kehormatan itu sudah memberi perasaan bahwa mereka tidak miskin-miskin amat, walau kenyataannya tetaplah menderita. Sapi itu telah membutakan mereka dari harapan mendapatkan kehidupan yang lebih berharga di masa depan.

Maka dari itulah, ia harus dibunuh.

Berapa banyak dari kita yang menganggap apa yang dimiliki sekarang sudah cukup dan membuat berhenti untuk mengejar pencapaian yang lebih baik lagi? Berapa banyak dari kita yang kesannya 'nerimo' walaupun sebenarnya merasa tidak puas? Berapa banyak dari kita yang sebetulnya sudah sangat frustasi tetapi tidak cukup tergerak untuk melakukan sesuatu?

Setiap orang mempunyai sapinya masing-masing dalam hidup ini. Dan tanpa sadar, mereka telah hidup bersama sapi-sapi itu di dalam pekerjaan, karir, dan urusan-urusan lainnya, selama bertahun-tahun. Banyak yang tidak puas dengan kondisi sekarang, tetapi memilih untuk tetap pasrah dalam kehidupan yang seadanya. Toh, masih bisa hidup normal.

Cerita seekor sapi tadi adalah cerita tentang menghapus kebiasaan buruk, alasan, dan keyakinan membatasi yang membuat orang terikat pada kehidupan seadanya. Musuh kesuksesan yang sebenarnya bukanlah kegagalan, seperti yang banyak orang pikir, melainkan kehidupan yang seadanya - pemikiran bahwa kita bisa 'sekedar lewat' dalam hidup ini.

Bagaimana dengan Anda?

Apapun yang sudah terjadi di belakang, biarkanlah berlalu. Mari kita mulai hidup yang baru, hidup yang bebas dari sapi!

Semoga bermanfaat :)


NB: ini baru bagian depan buku ya, di dalamnya dibahas lengkap bagaimana kita mengenali sapi-sapi yang selama ini tidak kita sadari, dari mana sapi sapi-sapi itu datang, sampai bagaimana membunuhnya untuk hidup di zona bebas sapi.